Tugas 3 IBD
1.Makna dan Penderitaan
A. Makna Penderitaan
Sebagian orang tidak menemukan jawaban yang memuaskan, terhadap realita penderitaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Seringkali orang bertanya: “Jika Allah ada, dan jika Allah itu baik, mengapa Ia membiarkan banyak kejahatan terjadi di dunia ini? Mengapa Allah membiarkan pengalaman-pengalaman tragis terjadi di dalam kehidupan banyak orang?” Pertanyaan itu lebih sering diajukan, jika sesuatu yang buruk terjadi pada orang-orang yang dianggap baik. Bukan pelaku kriminal, tetapi orang-orang yang sangat setia beribadah, dan melayani. Misalnya ketika mereka mengalami penyakit kronis yang mematikan, ada dokter yang salah mengoperasi, sehingga lumpuh atau makin parah. Mungkin saja anaknya diperkosa, bisnisnya gagal total, atau orang yang sangat dikasihi meninggal dunia, dan sebagainya.
Bagaimana mengaitkan kebaikan dan kasih Allah, dengan peristiwa-peristiwa ‘buruk’ yang terjadi dalam kehidupan seperti itu? Dan bagaimana kita mampu melihat dari perspektif Allah, ketika Ia mengijinkan penderitaan berat terjadi, menimpa diri kita, atau keluarga kita. Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mendefinisikan beberapa hal terlebih dahulu, seperti kata ‘hal buruk’dan “orang baik.”
Suatu kali seorang muda datang kepada Tuhan Yesus dan berkata: “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Kemudian Tuhan Yesus : “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorang pun yang baik, selain dari pada Allah saja.”(Mrk 10:17-18). Tuhan Yesus menegaskan, bahwa di dunia ini tidak ada orang yang baik, dan hanya Allah saja pribadi yang baik. Seperti tertulis dalam kitab Roma “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak.” (Roma 3:10-12).” Hal ini juga mengingatkan kita bahwa kebaikan yang ada pada manusia, khususnya pada orang-orang Kristen, bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi bersumber dari kehadiran Allah di dalam dirinya. Dengan pemahaman ini, sebetulnya sulit membuat pertanyaan, “mengapa hal buruk terjadi pada orang baik?”, karena orang baik itu tidak ada. Alkitab selalu menekankan, bahwa seseorang menjadi baik, setelah ia diselamatkan, dibenarkan, dan diampuni dosa-dosanya, bukan pada dirinya ia benar dan baik ,tetapi oleh anugerah Allah (Ef 2:8-10) .
Yang Buruk tidak Selamanya Buruk
Definisi tentang suatu yang buruk pun, dapat dipahami berbeda-beda oleh setiap orang. Bagi yang seseorang suatu peristiwa sangat buruk, namun bagi yang lain biasa-biasa saja. Selain itu, apa yang kita anggap buruk pada awalnya, ternyata justru merupakan kebaikan pada akhirnya. Bukankah kita sering mengalaminya? Dalam tragedi 11 September 2001 di New York, diceritakan tentang seorang karyawan yang sangat ketakutan dipecat dari pekerjaannya, karena ia terlambat masuk kantor hari itu, namun ketika tiba di area perkantoran, ia sudah melihat kematian ribuan orang yang ditimpa reruntuhan bangunan. Saat itu menjadi suatu rasa syukur, bukan karena menoleransi keterlambatannya, namun karena ia selamat dari tragedi itu. Demikian juga jika kita, melihat pengalaman hidup Yusuf di Alkitab, ketika penderitaannya dimulai dengan kebencian dan iri hati saudara-saudaranya. Hal itu berlanjut dengan menjual Yusuf kepada bangsa lain, dan terus menerus Yusuf berada dalam kesusahan di negeri orang. Pada akhirnya, ia sendiri yang menyimpulkan bagaiman Allah merajut yang baik melalui peristiwa buruk: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (Kej 50:20).
Mengapa ‘Hal Buruk’ Terjadi?
Contoh yang lebih tegas bagi lagi adalah pengalaman kehidupan Ayub. Ketika Ayub mengalami tragedi kematian sepuluh anak-anaknya, dan kehilangan semua kekayaannya, termasuk kesehatan, bahkan provokasi dari isterinya yang sangat sinis. Respon Ayub adalah, mengoyakkan jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujud dan menyembah. Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”
Dalam semua peristiwa itu, Alkitab menyaksikan bahwa Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut,(Ayub 1:21-23). Alkitab menyaksikan, bagaimana Ayub tidak mempersalahkan Allah dalam peristiwa itu. Ayub menerima dengan iman, bahwa Allah memang berdaulat atas setiap peristiwa, dan Allah adalah sumber pemberi segala sesuatu. Pada akhirnya, Ayub sendiri menyimpulkan, bagaimana peristiwa tragis dalam hidupnya mempertemukannya secara pribadi dengan Allah, yang Agung sang pencipta.
Beberapa hal yang dapat kita simpulkan, mengenai mengapa ‘hal buruk’ terjadi pada kehidupan orang percaya. Penderitaan dapat terjadi, sebagai cara dan alat Allah untuk menyatakan rencana, dan kehendak-Nya bagi kita. Hal yang sering dikaitkan dengan topik ini, juga adalah faktor kehendak bebas, (freewill), yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia. Kejatuhan manusia dalam dosa, (Kej. 3) memang dimungkinkan oleh karena adanya faktor freewill, namun tanpa freewill, manusia juga tidak bisa berbuat apa pun. Kasih tidak akan ada dalam diri manusia tanpa kehendak bebas, kasih menjadi indah dan sempurna, oleh karena ada kehendak bebas yang sudah dimurnikan oleh kasih Kristus di kayu salib, (Yoh 3:16; 1Yoh 4:9-10).
Hal-hal buruk atau penderitaan, dapat terjadi oleh karena hukum sebab akibat, kesalahan kita sendiri, kecerobohan, kelalaian atau kesengajaan seseorang melakukan sesuatu, yang merugikan diri sendiri atau orang lain, termasuk kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia ini. Dampak kejatuhan yang terjadi di taman Eden, juga merupakan penyebab utama penderitaan manusia, dan di sana juga Tuhan memberikan kutukan kepada manusia dan alam semesta (Kej 3:14-17). Kejahatan manusia begitu besar, dan sifatnya menyebar (Kej 6:5, Yer 17:9). Di satu sisi ada peristiwa-peristiwa yang dapat kita mengerti, dan terima sebagai cara dan alat Allah membentuk dan mengendalikan hidup kita, di sisi lain banyak misteri yang tidak dapat kita pahami. Namun Alkitab juga menegaskan, bahwa hidup yang kita miliki, adalah hidup karena anugerah dan dalam kasih Allah (Maz 103). Ketika kita tidak mampu memahami agenda Allah, atau ketika Ia mengijinkan dan membiarkan sesuatu yang “buruk” terjadi dalam hidup kita dan dalam dunia ini, maka kita harus memiliki kepekaan untuk memahami maksud-maksud Tuhan. Hanya dengan pengenalan akan Tuhan dan memahami Firman-Nya, maka kita dapat memahami maksud-maksud-Nya dalam hidup ini. Hidup penuh syukur, menerima kedaulatan-Nya dan taat pada-Nya, adalah cara terbaik menghidupi hidup yang dianugerahkan Allah.
A. Makna Penderitaan
Sebagian orang tidak menemukan jawaban yang memuaskan, terhadap realita penderitaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Seringkali orang bertanya: “Jika Allah ada, dan jika Allah itu baik, mengapa Ia membiarkan banyak kejahatan terjadi di dunia ini? Mengapa Allah membiarkan pengalaman-pengalaman tragis terjadi di dalam kehidupan banyak orang?” Pertanyaan itu lebih sering diajukan, jika sesuatu yang buruk terjadi pada orang-orang yang dianggap baik. Bukan pelaku kriminal, tetapi orang-orang yang sangat setia beribadah, dan melayani. Misalnya ketika mereka mengalami penyakit kronis yang mematikan, ada dokter yang salah mengoperasi, sehingga lumpuh atau makin parah. Mungkin saja anaknya diperkosa, bisnisnya gagal total, atau orang yang sangat dikasihi meninggal dunia, dan sebagainya.
Bagaimana mengaitkan kebaikan dan kasih Allah, dengan peristiwa-peristiwa ‘buruk’ yang terjadi dalam kehidupan seperti itu? Dan bagaimana kita mampu melihat dari perspektif Allah, ketika Ia mengijinkan penderitaan berat terjadi, menimpa diri kita, atau keluarga kita. Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mendefinisikan beberapa hal terlebih dahulu, seperti kata ‘hal buruk’dan “orang baik.”
Suatu kali seorang muda datang kepada Tuhan Yesus dan berkata: “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Kemudian Tuhan Yesus : “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorang pun yang baik, selain dari pada Allah saja.”(Mrk 10:17-18). Tuhan Yesus menegaskan, bahwa di dunia ini tidak ada orang yang baik, dan hanya Allah saja pribadi yang baik. Seperti tertulis dalam kitab Roma “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak.” (Roma 3:10-12).” Hal ini juga mengingatkan kita bahwa kebaikan yang ada pada manusia, khususnya pada orang-orang Kristen, bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi bersumber dari kehadiran Allah di dalam dirinya. Dengan pemahaman ini, sebetulnya sulit membuat pertanyaan, “mengapa hal buruk terjadi pada orang baik?”, karena orang baik itu tidak ada. Alkitab selalu menekankan, bahwa seseorang menjadi baik, setelah ia diselamatkan, dibenarkan, dan diampuni dosa-dosanya, bukan pada dirinya ia benar dan baik ,tetapi oleh anugerah Allah (Ef 2:8-10) .
Yang Buruk tidak Selamanya Buruk
Definisi tentang suatu yang buruk pun, dapat dipahami berbeda-beda oleh setiap orang. Bagi yang seseorang suatu peristiwa sangat buruk, namun bagi yang lain biasa-biasa saja. Selain itu, apa yang kita anggap buruk pada awalnya, ternyata justru merupakan kebaikan pada akhirnya. Bukankah kita sering mengalaminya? Dalam tragedi 11 September 2001 di New York, diceritakan tentang seorang karyawan yang sangat ketakutan dipecat dari pekerjaannya, karena ia terlambat masuk kantor hari itu, namun ketika tiba di area perkantoran, ia sudah melihat kematian ribuan orang yang ditimpa reruntuhan bangunan. Saat itu menjadi suatu rasa syukur, bukan karena menoleransi keterlambatannya, namun karena ia selamat dari tragedi itu. Demikian juga jika kita, melihat pengalaman hidup Yusuf di Alkitab, ketika penderitaannya dimulai dengan kebencian dan iri hati saudara-saudaranya. Hal itu berlanjut dengan menjual Yusuf kepada bangsa lain, dan terus menerus Yusuf berada dalam kesusahan di negeri orang. Pada akhirnya, ia sendiri yang menyimpulkan bagaiman Allah merajut yang baik melalui peristiwa buruk: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (Kej 50:20).
Mengapa ‘Hal Buruk’ Terjadi?
Contoh yang lebih tegas bagi lagi adalah pengalaman kehidupan Ayub. Ketika Ayub mengalami tragedi kematian sepuluh anak-anaknya, dan kehilangan semua kekayaannya, termasuk kesehatan, bahkan provokasi dari isterinya yang sangat sinis. Respon Ayub adalah, mengoyakkan jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujud dan menyembah. Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”
Dalam semua peristiwa itu, Alkitab menyaksikan bahwa Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut,(Ayub 1:21-23). Alkitab menyaksikan, bagaimana Ayub tidak mempersalahkan Allah dalam peristiwa itu. Ayub menerima dengan iman, bahwa Allah memang berdaulat atas setiap peristiwa, dan Allah adalah sumber pemberi segala sesuatu. Pada akhirnya, Ayub sendiri menyimpulkan, bagaimana peristiwa tragis dalam hidupnya mempertemukannya secara pribadi dengan Allah, yang Agung sang pencipta.
Beberapa hal yang dapat kita simpulkan, mengenai mengapa ‘hal buruk’ terjadi pada kehidupan orang percaya. Penderitaan dapat terjadi, sebagai cara dan alat Allah untuk menyatakan rencana, dan kehendak-Nya bagi kita. Hal yang sering dikaitkan dengan topik ini, juga adalah faktor kehendak bebas, (freewill), yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia. Kejatuhan manusia dalam dosa, (Kej. 3) memang dimungkinkan oleh karena adanya faktor freewill, namun tanpa freewill, manusia juga tidak bisa berbuat apa pun. Kasih tidak akan ada dalam diri manusia tanpa kehendak bebas, kasih menjadi indah dan sempurna, oleh karena ada kehendak bebas yang sudah dimurnikan oleh kasih Kristus di kayu salib, (Yoh 3:16; 1Yoh 4:9-10).
Hal-hal buruk atau penderitaan, dapat terjadi oleh karena hukum sebab akibat, kesalahan kita sendiri, kecerobohan, kelalaian atau kesengajaan seseorang melakukan sesuatu, yang merugikan diri sendiri atau orang lain, termasuk kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia ini. Dampak kejatuhan yang terjadi di taman Eden, juga merupakan penyebab utama penderitaan manusia, dan di sana juga Tuhan memberikan kutukan kepada manusia dan alam semesta (Kej 3:14-17). Kejahatan manusia begitu besar, dan sifatnya menyebar (Kej 6:5, Yer 17:9). Di satu sisi ada peristiwa-peristiwa yang dapat kita mengerti, dan terima sebagai cara dan alat Allah membentuk dan mengendalikan hidup kita, di sisi lain banyak misteri yang tidak dapat kita pahami. Namun Alkitab juga menegaskan, bahwa hidup yang kita miliki, adalah hidup karena anugerah dan dalam kasih Allah (Maz 103). Ketika kita tidak mampu memahami agenda Allah, atau ketika Ia mengijinkan dan membiarkan sesuatu yang “buruk” terjadi dalam hidup kita dan dalam dunia ini, maka kita harus memiliki kepekaan untuk memahami maksud-maksud Tuhan. Hanya dengan pengenalan akan Tuhan dan memahami Firman-Nya, maka kita dapat memahami maksud-maksud-Nya dalam hidup ini. Hidup penuh syukur, menerima kedaulatan-Nya dan taat pada-Nya, adalah cara terbaik menghidupi hidup yang dianugerahkan Allah.
B.Siksaan
Berasal dari kata “DERITA” yang artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan secara lahir dan batin. Tetapi penderitaan merupakan energi untuk membangkitkan seseorang atau sebagai langkah awal untuk mencapai tingkat kenikmatan dan kebahagiaan.
[Makna Siksaan] ada dua, yaitu Siksaan Hati dan Tubuh baik secara langsung maupun tidak. Jadi dapat di simpulkan bahwa siksaan itu tidak [...]
Berasal dari kata “DERITA” yang artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan secara lahir dan batin. Tetapi penderitaan merupakan energi untuk membangkitkan seseorang atau sebagai langkah awal untuk mencapai tingkat kenikmatan dan kebahagiaan.
[Makna Siksaan] ada dua, yaitu Siksaan Hati dan Tubuh baik secara langsung maupun tidak. Jadi dapat di simpulkan bahwa siksaan itu tidak [...]
C. Rasa Sakit
Kita merasa sakit sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam mesin maharumit nan elok, yaitu tubuh kita. Kita juga akan merasakan sakit apabila kita memaksa otot-otot kita menanggung beban melampaui batas kesanggupannya. Karena terasa sakit, kita melindungi diri dari barang-barang yang panas atau bergesekan dengan benda tajam dan sebagainya, yang mampu menyebabkan rasa sakit.
Kita merasa sakit sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam mesin maharumit nan elok, yaitu tubuh kita. Kita juga akan merasakan sakit apabila kita memaksa otot-otot kita menanggung beban melampaui batas kesanggupannya. Karena terasa sakit, kita melindungi diri dari barang-barang yang panas atau bergesekan dengan benda tajam dan sebagainya, yang mampu menyebabkan rasa sakit.
Tidak sedikit dari kita yang beranggapan bahwa rasa sakit adalah merupakan salah satu cara Tuhan menghukum umatnya, bisa jadi hal ini disebabkan karena pengalaman masa kanak-kanak saat dimarahi atau bahkan dipukul orang tua ketika dianggap melakukan kesalahan atau keyakinan bahwa semua hal yang tidak menyenangkan yang menimpa diri seseorang adalah hukuman atas perbuatannya. Tetapi rasa sakit bagi saya secara pribadi, tidak menandakan bahwa Tuhan tengah menghukum umatnya. Karena bagaimanapun, rasa sakit merupakan cara alam memperingatkan orang-orang baik maupun orang-orang jahat bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Hidup ini mungkin terasa tidak menyenangkan sebab kita dapat menjadi sasaran rasa sakit. Seseorang yang tengah menderita sakit gigi misalnya, dapat dipastikan tidak dapat menikmati indahnya film romantis, lezatnya makanan atau sensasi-sensasi lainnya, karena ‘rasa’ sakit giginya melebihi indahnya film romantis atau makanan yang terlezat sekalipun. Tetapi hidup ini akan menjadi sangat berbahaya, atau bahkan kita tidak mungkin hidup, andaikata kita tidak merasakan sakit. Karena rasa sakit merupakan harga yang harus kita bayar justru karena kita hidup.
Rasa sakit karena patah tulang atau tersengat api merupakan respon sakit pada taraf binatang. Maksud saya, binatang-binatang pun merasakan jenis rasa sakit itu, seperti kita. Untuk merasa sakit karena tertusuk benda tajam, kita tidak perlu memiliki akal budi. Ada rasa sakit pada taraf lain yang hanya dapat dirasakan manusia. Hanya manusia yang dapat menemukan makna pada rasa sakit yang dialaminnya.
Seseorang yang sedang mangalami sakit ‘hati’ misalnya, biasanya akan rela melakukan apa saja agar pengalaman itu tidak terulang lagi. Berbeda halnya dengan seorang perempuan yang harus merasakan sakit sewaktu melahirkan-seperti halnya seorang pelari yang telah memeras tenaganya untuk mencapai garis finis dan menjadi juara-dapat mengatasi rasa sakitnya dan segera berpikir untuk mengulangi kembali pengalaman itu.
Ada sebuah Peristiwa yang untuk saya merupakan rasa sakit terberat yang pernah saya alami sepanjang perjalanan hidup saya. Rasa sakit saat dimana saya kehilangan ayah saya, kehilangan untuk selama-lamanya disaat saya masih berusia cukup muda, 15 tahun. Ada kekosongan atau kehampaan yang tiba-tiba menyerang saya, sehingga rasa sakit itu benar-benar terasa sekali.
Sulit bagi saya untuk memulai sesuatu yang baru, sehingga butuh waktu yang cukup lama, cukup lama untuk memulihkan keadaan saya. Keadaan dimana saat kami terbiasa berkumpul sekeluarga, dan merasa semuanya baik-baik saja. Saya sendiri tidak tahu kenapa bisa sesakit itu. Rasa sakit itu sampai saat ini masih saya rasakan disaat-saat ketika saya merasa memiliki sesuatu, walaupun sedikit, dan ingin saya bagikan kepada keluarga atau saat saya berpikir tentang masa lalu saya dan berandai-andai apakah yang akan terjadi di kehidupan saya sekarang jika keadaannya berbeda.
Pertanyaan yang sering kali muncul disaat seseorang mengalami rasa sakit, entah itu mereka yang terkena penyakit kanker, mereka yang mengalami perceraian, atau yang mengalami hal serupa seperti yang saya rasakan dan rasa sakit lainnya adalah mengapa harus saya? Kenapa ini terjadi? Apa saya lebih pantas? Apa salah saya sudah begitu beratnya? Dan sebagainya, mungkin juga pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang ada di benak Ibu Sri Mulyani ketika menghadapi skandal Bank Century ^_^.
Untuk saya secara pribadi ketika mengalami rasa sakit yang saya derita, tidak ada satupun jawaban yang dapat memuaskan dan menenangkan rasa sakit saya. Karena semua jawaban tetap tidak bisa mengembalikan ayah saya. Jawaban terbaik yang saya ketahui untuk rasa sakit saya adalah dengan membayangkan betapa jadinya dunia ini jika setiap manusia hidup selamanya. Maka dunia akan penuh sesak. Dalam dunia manusia hidup untuk selamanya, mungkin saya tidak akan pernah dilahirkan karena dunia sudah kelewat penuh.
Rasa sakit merupakan harga yang harus kita bayar justru karena kita hidup. Apabila kita memahami hal ini, maka pertanyaan kita akan berubah, dari “mengapa ini terjadi?” menjadi “apa yang bisa saya lakukan sekarang dan setelah ini?”. Berdasarkan pengalaman saya, rasa sakit menyebabkan seseorang menjadi lebih peka dan penuh belas kasih terhadap orang lain atau justru sebaliknya menjadi pendengki dan mudah iri terhadap orang lain. Artinya, yang menjadikan pengalaman menyakitkan tertentu bermakna, sedangkan pengalaman menyakitkan lainnya kosong atau bahkan merusak adalah akibat rasa sakit itu, bukan penyebabnya.
Bagaimana kita dapat mengubah suatu pengalaman menyakitkan seperti pengalaman seorang Ibu sewaktu melahirkan adalah contoh yang paling bijak dalam memaknai rasa sakit. Rasa sakit adalah bagian dari kehidupan kita, bukan karena Tuhan menghendakinya, tetapi karena kodrat kita sebagai mahluk hidup. Selamat menikmati rasa sakit anda dan menjadikannya pengalaman yang indah serta bermakna.
2. Manusia dan Keadilan
A. Keadilan
Adil disini berarti keadaan yang seimbang. Apabila kita melihat suatu sistem atau himpunan yang memiliki beragam bagian yang dibuat untuk tujuan tertentu, maka mesti ada sejumlah syarat, entah ukuran yang tepat pada setiap bagian dan pola kaitan antarbagian tersebut. Dengan terhimpunnya semua syarat itu, himpunan ini bisa bertahan, memberikan pengaruh yang diharapkan darinya, dan memenuhi tugas yang telah diletakkan untuknya.
Misalnya, setiap masyarakat yang ingin bertahan dan mapan harus berada dalam keadaan seimbang, taitu segala sesuatu yang ada di dalamnya harus muncul dalam proporsi yang semestinya, bukan dalam proporsi yang setara. Setiap masyarakat yang seimbang membutuhkan bermacam-macam aktifitas. Di antaranya adalah aktifitas ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dan kebudayaan. Semua aktifitas itu harus didistribusikan di antara anggota masyarakat dan setiap anggota harus dimanfaatkan untuk suatu aktifitas secara proporsional.
Keseimbangan sosial mengharuskan kita untuk memerhatikan neraca kebutuhan. Lalu, kita mengkhususkan untuknya anggaran yang sesuai dan mengeluarkan sumber daya yang proporsional. Manakal sudah sampai disini, kita menghadapi persoalan “kemaslahatan”, yakni kemaslahatan masyarakat yang dengannya kelangsungan hidup “keseluruhan” dapat terpelihara. Hal ini lalu mendorong kita untuk memerhatikan tujuan-tujuan umum yang mesti dicapai. Dengan perspektif ini, “bagian” hanya menjadi perantara dan tidak memiliki perhitungan khusus.
Demikian pula halnya dengan keseimbangan fisik. Mobil, misalnya, dibuat untuk tujuan tertentu dan untkmkebutuhan-kebutuhan tertentu pula. Karenanya, apabila mobil itu hendak dibuat sebagau produk yang seimbang, mobil itu harus dirancang dari berbagai benda mengikuti ukuran yang proporsional dengan kepentingan dan kebutuhannya. Begitu pula halnya dengan keseimbangan kimiawi. Setiap senyawa kimiawi memiiki stuktur, pola, dan proporsional tertentu pada setiap unsur pembentuknya. Apabila hendak meniciptakan senyawa itu, kita mesti menjaga struktur dan proporsi di atas sehingga tercipta suatu keseimbangan dan simetris. Kalau tidak, alam tidak dapat tegak dengan baik, tidak pula ada sistem, perhitungan, dan perjalanan tertentu di dalamnya. Al-Qur’an menyatakan:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). QS. Al-Rahman [55]: 7
Ketika membahas ayat di atas, para ahli tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh ayat itu adalah keadaan yang tercipta secara seimbang. Segala obyek dan partikelnya telah diletakkan dalam ukuran yang semestinya. Tiap-tiap divisi diukur secara sangat cermat.
Dalam suatu hadis, Nabi Saw bersabda: “Dengan keadilan, tegaklah langit dan bumi.” (Tafsir Al-Shafi, tentang QS. Al-Rahman [55]: 7)
Lawan keadilan, dalam pengertian ini, adalah “ketidakseimbangan”, bukan “kezaliman”.
Banyak orang yang berupaya menjawab semua kemusykilan dalam keadilan Ilahi dari perspektif keseimbangan dan ketidakseimbangan alam, sebagai ganti dari perspektif keadailan dan kezaliman. Merteka puas dan berusaha untuk puas dengan pandangan bahwa semua diskriminasi yang terjadi, baik disertai alasan ataupun tidak, dan semua kejahatan yang ada, sebenarnya merupakan keharusan dan keniscayaan sistem alam yang menyeluruh. Tidak diragukan lagi bahwa eksistensi obyek tertentu merupakan keniscayaan bagi keseimbangan alam secara historis. Tetapi, solusi ini tidak menjawab keberatan seputar terjadinya kezaliman.
Kajian tentang keadilan dalam pengertian “keseimbangan”, sebagai lawan ketidakseimbangan, akan muncul jika kita melihat sistem alam sebagai keseluruhan. Sedangkan, kajian tentang keadilan dalam pengertian sebagai lawan kezaliman dan yang terjadi ketika kita melihat tiap-tiap individu secara terpisah-pisah adalah pembahasan yang lain lagi. Keadlian dalam pemgertian pertama menjadikan “maslahat umum” sebagai persoalan. Adapun keadilan dalam pengertian kedua menjadikan “hak individu” sebagai pokok persoalan. Karenanya, orang yang mengajukan keberatan akan kembali mengatakan, “Saya tidak menolak prinsip keseimbangan di seluruh alam, tapi saya mengatakan bahwa pemeliharaan terhadap keseibangan ini, mau tidak mau, akan mengakibatkan munculnya pengutamaan tanpa dasar (tarjih bila murajjih). Semua pemgutamaan ini, dari sudut pandang keseluruhan dapat diterima dan relevan. Tapi, dari sudut pandang individual, ia tetap tidak dapat diterima dan tidak relevan.”
Keadilan dalam pengertian “simetri” dan “proporsi” termasuk dalam konsekuensi sifat Mahabijak dan Maha Mengetahui Allah. Berdasarkan ilmu-Nya yang komprehensif dan kebijaksanaan-Nya yang meyeluruh. Dia mengetahui bahwa penciptaan sesuatu meniscayakan proporsi tertentu dari berbagai undur. Dia menyusun unsur-unsur itu untuk menciptakan bangunan tersebut.
Adil disini berarti keadaan yang seimbang. Apabila kita melihat suatu sistem atau himpunan yang memiliki beragam bagian yang dibuat untuk tujuan tertentu, maka mesti ada sejumlah syarat, entah ukuran yang tepat pada setiap bagian dan pola kaitan antarbagian tersebut. Dengan terhimpunnya semua syarat itu, himpunan ini bisa bertahan, memberikan pengaruh yang diharapkan darinya, dan memenuhi tugas yang telah diletakkan untuknya.
Misalnya, setiap masyarakat yang ingin bertahan dan mapan harus berada dalam keadaan seimbang, taitu segala sesuatu yang ada di dalamnya harus muncul dalam proporsi yang semestinya, bukan dalam proporsi yang setara. Setiap masyarakat yang seimbang membutuhkan bermacam-macam aktifitas. Di antaranya adalah aktifitas ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dan kebudayaan. Semua aktifitas itu harus didistribusikan di antara anggota masyarakat dan setiap anggota harus dimanfaatkan untuk suatu aktifitas secara proporsional.
Keseimbangan sosial mengharuskan kita untuk memerhatikan neraca kebutuhan. Lalu, kita mengkhususkan untuknya anggaran yang sesuai dan mengeluarkan sumber daya yang proporsional. Manakal sudah sampai disini, kita menghadapi persoalan “kemaslahatan”, yakni kemaslahatan masyarakat yang dengannya kelangsungan hidup “keseluruhan” dapat terpelihara. Hal ini lalu mendorong kita untuk memerhatikan tujuan-tujuan umum yang mesti dicapai. Dengan perspektif ini, “bagian” hanya menjadi perantara dan tidak memiliki perhitungan khusus.
Demikian pula halnya dengan keseimbangan fisik. Mobil, misalnya, dibuat untuk tujuan tertentu dan untkmkebutuhan-kebutuhan tertentu pula. Karenanya, apabila mobil itu hendak dibuat sebagau produk yang seimbang, mobil itu harus dirancang dari berbagai benda mengikuti ukuran yang proporsional dengan kepentingan dan kebutuhannya. Begitu pula halnya dengan keseimbangan kimiawi. Setiap senyawa kimiawi memiiki stuktur, pola, dan proporsional tertentu pada setiap unsur pembentuknya. Apabila hendak meniciptakan senyawa itu, kita mesti menjaga struktur dan proporsi di atas sehingga tercipta suatu keseimbangan dan simetris. Kalau tidak, alam tidak dapat tegak dengan baik, tidak pula ada sistem, perhitungan, dan perjalanan tertentu di dalamnya. Al-Qur’an menyatakan:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). QS. Al-Rahman [55]: 7
Ketika membahas ayat di atas, para ahli tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh ayat itu adalah keadaan yang tercipta secara seimbang. Segala obyek dan partikelnya telah diletakkan dalam ukuran yang semestinya. Tiap-tiap divisi diukur secara sangat cermat.
Dalam suatu hadis, Nabi Saw bersabda: “Dengan keadilan, tegaklah langit dan bumi.” (Tafsir Al-Shafi, tentang QS. Al-Rahman [55]: 7)
Lawan keadilan, dalam pengertian ini, adalah “ketidakseimbangan”, bukan “kezaliman”.
Banyak orang yang berupaya menjawab semua kemusykilan dalam keadilan Ilahi dari perspektif keseimbangan dan ketidakseimbangan alam, sebagai ganti dari perspektif keadailan dan kezaliman. Merteka puas dan berusaha untuk puas dengan pandangan bahwa semua diskriminasi yang terjadi, baik disertai alasan ataupun tidak, dan semua kejahatan yang ada, sebenarnya merupakan keharusan dan keniscayaan sistem alam yang menyeluruh. Tidak diragukan lagi bahwa eksistensi obyek tertentu merupakan keniscayaan bagi keseimbangan alam secara historis. Tetapi, solusi ini tidak menjawab keberatan seputar terjadinya kezaliman.
Kajian tentang keadilan dalam pengertian “keseimbangan”, sebagai lawan ketidakseimbangan, akan muncul jika kita melihat sistem alam sebagai keseluruhan. Sedangkan, kajian tentang keadilan dalam pengertian sebagai lawan kezaliman dan yang terjadi ketika kita melihat tiap-tiap individu secara terpisah-pisah adalah pembahasan yang lain lagi. Keadlian dalam pemgertian pertama menjadikan “maslahat umum” sebagai persoalan. Adapun keadilan dalam pengertian kedua menjadikan “hak individu” sebagai pokok persoalan. Karenanya, orang yang mengajukan keberatan akan kembali mengatakan, “Saya tidak menolak prinsip keseimbangan di seluruh alam, tapi saya mengatakan bahwa pemeliharaan terhadap keseibangan ini, mau tidak mau, akan mengakibatkan munculnya pengutamaan tanpa dasar (tarjih bila murajjih). Semua pemgutamaan ini, dari sudut pandang keseluruhan dapat diterima dan relevan. Tapi, dari sudut pandang individual, ia tetap tidak dapat diterima dan tidak relevan.”
Keadilan dalam pengertian “simetri” dan “proporsi” termasuk dalam konsekuensi sifat Mahabijak dan Maha Mengetahui Allah. Berdasarkan ilmu-Nya yang komprehensif dan kebijaksanaan-Nya yang meyeluruh. Dia mengetahui bahwa penciptaan sesuatu meniscayakan proporsi tertentu dari berbagai undur. Dia menyusun unsur-unsur itu untuk menciptakan bangunan tersebut.
B. Kejujuran dan Kebenaran
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik. Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya). Allah berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119) “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33) Macam-Macam Kejujuran
1. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka. 2. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran. 3. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23) Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76) 4. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’” 5. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15) Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain mengetahuinya. Khatimah Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah, “Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80) Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik. “Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. asy-Syu’ara’: 84) Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177) Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan. Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran.
Pengertian kecurangan
Sering kali kita melihat banyak suatu perdebatan atau bantah-membantah. Dengan semakin canggihnya media komunikasi dan semakin aktualnya pemberitaan media, maka banyak perdebatan akan semakin tampak jelas dan dapat langsung dilihat. Karena begitu transparannya kejadian itu, maka tiap-tiap orang yang berdebat menyiapkan sebuah kebenaran untuk ditunjukkan supaya opini orang yang melihatnya setuju dengan kebenaran yang disampaikannya. Kebenaran…itulah sebenarnya sering menjadi obyek suatu perdebatan, yakni mencari sebuah kebenaran yang paling benar. Suatu perdebatan itu terjadi dan sering kali tidak selesai hakikatnya adalah pihak-pihak yang berdebat merasa kebenaran yang mereka sampaikan adalah kebenaran yang hakiki atau yang paling benar. Pertanyaan yang mendasar yang perlu disampaikan adalah: kebenaran yang dibawa itu kebenaran apa, dari mana, dan untuk tujuan apa? Karena semakin sedikitnya manusia yang tidak mengerti arti kata “kebenaran” maka terjadilah kekacauan di dunia ini
Arti sebuah kebenaran
Sebenarnya, arti secara verbal kebenaran menurut Aristoteles sudah cukup tepat. Aristoteles mendefinisikan kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas sebagaimana adanya.
Namun definisi tersebut masih mengandung sesuatu yang tetap bisa mengundang perdebatan demi perdebatan, karena definisi kenyataan masih kabur jika pendifinisan kenyataan tersebut juga belum mutlak. Jadi definisi ini bisa berjalan jika obyeknya telah digariskan definisinya (dalam konteks ini adalah baik-buruk) untuk diterima secara mutlak oleh subyek. Artinya subyek dan obyeknya harus mempunyai sumber yang sama
Kebenaran Itu Asalnya Hanya Satu Sumber
Kebenaran hanya berasal dari Allah, Tuhan seru sekalian alam. Jika kebenaran bukan berasal dari sang Kholik yang merupakan sumber dari kebenaran, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah kebenaran yang palsu dan menyesatkan.
Awal Mula Kebenaran diterima manusia
Kebenaran pertama kali dikenal manusia saat ruh manusia akan ditiupkan ke dalam jasad manusia ketika lahir. Pada saat itulah dimintai kesaksian ruh oleh Allah mengenai satu kebenaran yang merupakan inti dari kebenaran itu, yakni persaksian siapa Tuhan. Dan tujuan persaksian itu adalah agar kelak manusia tidak mengelak dari kebenaran dan tidak membuat suatu alasan apapun
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (١٧٢)أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ (١٧٣)وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (١٧٤)
(QS:7: 172-174)
172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,
173. Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua Kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang Kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Apakah Engkau akan membinasakan Kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”
174. Dan Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).
Kebenaran itu “sebenarnya” datang sendiri tetapi malah sering seseorang mencari kebenaran yang lain
Saat pertama kali kebenaran diterima, maka sesungguhnya ruh manusia itulah bersifat akan menerima setiap kebenaran yang berasal dari Allah. Ruh akan patuh dan tidak akan membantah setiap kebenaran. Kebenaran yang dipancarkan Allah (sering disebut Hidayah) sebenarnya tiada henti terpancar. Tapi, kita tidak mampu menerimanya, malah mencari kebenaran lain yang sesuai dengan nafsunya (yang telah menguasai hatinya)
Proses Masuknya Kebenaran Dalam Diri Manusia
Jika prosesnya benar dan tidak ada halangan. Ruh adalah penerima kebenaran yang dipancarkan Allah (hidayah). Hidayah itu bisa berasal dari berbagai sumber, bisa dari sumber kebenaran yang sudah tertulis (Al-Qur’an) atau lewat perantaraan manusia (dakwah) atau melihat sebuah peristiwa yang mengilhaminya. Setelah ruh menerima kebenaran itu, maka ruh akan meneruskannya pada segumpal darah yang akan menggerakkan organ jasad manusia dalam bertindak, yakni hati yang bersih dan peka terhadap kebenaran(sering disebut dengan hati nurani). Sering kali terjadi kesalahan persepsi bahwa sebelum masuk ke hati, maka sinyal yang diterima manusia diasumsikan masuk ke dalam otak/pikiran manusia. Sesungguhnya apa yang dipikirkan otak sebenarnya dimulai dari hati dulu. Dari apa yang dikatakan hati, otak akan berpikir dan menggerakkan jasad manusia dalam bertindak ke arah yang baik atau yang buruk.
Kembali dalam pokok bahasan. Jika sifat dari ruh/jiwa manusia adalah selalu menerima kebenaran, maka lain hal-nya dengan hati. Hati adalah sasaran serangan dari segala hal buruk karena hati adalah penggerak langkah jasad manusia. Hati adalah sasaran godaan syetan, tempat berkumpulnya nafsu, tempat menempel yang sangat nyaman bagi penyakit-penyakit yang kemudian kesemuanya itu akan menutupinya dan membuatnya buta. Istilah inilah yang dinamakan butanya sebuah hati, yakni tidak mampunyai hati untuk melihat sinyal kebenaran dan akhirnya menggerakkan jasad manusia ke arah yang buruk
Karena rentannya kotoran yang menempel di hati ini. Maka untuk bisa menerima kebenaran, manusia harus melakukan pembersihan hati terus menerus, seiring terus derasnya serangan terhadap hati manusia. Proses inilah (tazkiyatun nafsh) yang harus terus menerus dilakukan agar hati selalu bersih dan hati itu menjadi hati yang peka terhadap kebenaran (hati nurani)
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.\ (QS.as-Syu’araa:88-89)
“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging, yang apabila baik, maka baik pula seluruh tubuh. dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menyampaikan VS Mengaburkan kebenaran
Sebenarnya, output yang dihasilkan ketika kebenaran itu masuk dalam manusia adalah sama jika kebenaran itu diterima dengan hati nurani. Pada proses selanjutnya kebenaran yang hakiki itu akan disampaikan kepada manusia lainnya. Namun, jika kebenaran itu yang menerima adalah hati yang telah tertutup kotoran, maka kebenaran yang disampaikan adalah kebenaran yang telah dikaburkan. Hal itu tentu saja untuk memenuhi nafsu dan kepentingan yang ingin terpenuhi.
Semoga kita mempunyai hati nurani yang peka dan menerima kebenaraan, melakukan kebenaran dan menyampaikannya tanpa tertempel kepentingan kita.
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik. Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya). Allah berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119) “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33) Macam-Macam Kejujuran
1. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka. 2. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran. 3. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23) Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76) 4. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’” 5. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15) Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain mengetahuinya. Khatimah Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah, “Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80) Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik. “Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. asy-Syu’ara’: 84) Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177) Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan. Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran.
Pengertian kecurangan
Sering kali kita melihat banyak suatu perdebatan atau bantah-membantah. Dengan semakin canggihnya media komunikasi dan semakin aktualnya pemberitaan media, maka banyak perdebatan akan semakin tampak jelas dan dapat langsung dilihat. Karena begitu transparannya kejadian itu, maka tiap-tiap orang yang berdebat menyiapkan sebuah kebenaran untuk ditunjukkan supaya opini orang yang melihatnya setuju dengan kebenaran yang disampaikannya. Kebenaran…itulah sebenarnya sering menjadi obyek suatu perdebatan, yakni mencari sebuah kebenaran yang paling benar. Suatu perdebatan itu terjadi dan sering kali tidak selesai hakikatnya adalah pihak-pihak yang berdebat merasa kebenaran yang mereka sampaikan adalah kebenaran yang hakiki atau yang paling benar. Pertanyaan yang mendasar yang perlu disampaikan adalah: kebenaran yang dibawa itu kebenaran apa, dari mana, dan untuk tujuan apa? Karena semakin sedikitnya manusia yang tidak mengerti arti kata “kebenaran” maka terjadilah kekacauan di dunia ini
Arti sebuah kebenaran
Sebenarnya, arti secara verbal kebenaran menurut Aristoteles sudah cukup tepat. Aristoteles mendefinisikan kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas sebagaimana adanya.
Namun definisi tersebut masih mengandung sesuatu yang tetap bisa mengundang perdebatan demi perdebatan, karena definisi kenyataan masih kabur jika pendifinisan kenyataan tersebut juga belum mutlak. Jadi definisi ini bisa berjalan jika obyeknya telah digariskan definisinya (dalam konteks ini adalah baik-buruk) untuk diterima secara mutlak oleh subyek. Artinya subyek dan obyeknya harus mempunyai sumber yang sama
Kebenaran Itu Asalnya Hanya Satu Sumber
Kebenaran hanya berasal dari Allah, Tuhan seru sekalian alam. Jika kebenaran bukan berasal dari sang Kholik yang merupakan sumber dari kebenaran, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah kebenaran yang palsu dan menyesatkan.
Awal Mula Kebenaran diterima manusia
Kebenaran pertama kali dikenal manusia saat ruh manusia akan ditiupkan ke dalam jasad manusia ketika lahir. Pada saat itulah dimintai kesaksian ruh oleh Allah mengenai satu kebenaran yang merupakan inti dari kebenaran itu, yakni persaksian siapa Tuhan. Dan tujuan persaksian itu adalah agar kelak manusia tidak mengelak dari kebenaran dan tidak membuat suatu alasan apapun
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (١٧٢)أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ (١٧٣)وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (١٧٤)
(QS:7: 172-174)
172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,
173. Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua Kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang Kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Apakah Engkau akan membinasakan Kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”
174. Dan Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).
Kebenaran itu “sebenarnya” datang sendiri tetapi malah sering seseorang mencari kebenaran yang lain
Saat pertama kali kebenaran diterima, maka sesungguhnya ruh manusia itulah bersifat akan menerima setiap kebenaran yang berasal dari Allah. Ruh akan patuh dan tidak akan membantah setiap kebenaran. Kebenaran yang dipancarkan Allah (sering disebut Hidayah) sebenarnya tiada henti terpancar. Tapi, kita tidak mampu menerimanya, malah mencari kebenaran lain yang sesuai dengan nafsunya (yang telah menguasai hatinya)
Proses Masuknya Kebenaran Dalam Diri Manusia
Jika prosesnya benar dan tidak ada halangan. Ruh adalah penerima kebenaran yang dipancarkan Allah (hidayah). Hidayah itu bisa berasal dari berbagai sumber, bisa dari sumber kebenaran yang sudah tertulis (Al-Qur’an) atau lewat perantaraan manusia (dakwah) atau melihat sebuah peristiwa yang mengilhaminya. Setelah ruh menerima kebenaran itu, maka ruh akan meneruskannya pada segumpal darah yang akan menggerakkan organ jasad manusia dalam bertindak, yakni hati yang bersih dan peka terhadap kebenaran(sering disebut dengan hati nurani). Sering kali terjadi kesalahan persepsi bahwa sebelum masuk ke hati, maka sinyal yang diterima manusia diasumsikan masuk ke dalam otak/pikiran manusia. Sesungguhnya apa yang dipikirkan otak sebenarnya dimulai dari hati dulu. Dari apa yang dikatakan hati, otak akan berpikir dan menggerakkan jasad manusia dalam bertindak ke arah yang baik atau yang buruk.
Kembali dalam pokok bahasan. Jika sifat dari ruh/jiwa manusia adalah selalu menerima kebenaran, maka lain hal-nya dengan hati. Hati adalah sasaran serangan dari segala hal buruk karena hati adalah penggerak langkah jasad manusia. Hati adalah sasaran godaan syetan, tempat berkumpulnya nafsu, tempat menempel yang sangat nyaman bagi penyakit-penyakit yang kemudian kesemuanya itu akan menutupinya dan membuatnya buta. Istilah inilah yang dinamakan butanya sebuah hati, yakni tidak mampunyai hati untuk melihat sinyal kebenaran dan akhirnya menggerakkan jasad manusia ke arah yang buruk
Karena rentannya kotoran yang menempel di hati ini. Maka untuk bisa menerima kebenaran, manusia harus melakukan pembersihan hati terus menerus, seiring terus derasnya serangan terhadap hati manusia. Proses inilah (tazkiyatun nafsh) yang harus terus menerus dilakukan agar hati selalu bersih dan hati itu menjadi hati yang peka terhadap kebenaran (hati nurani)
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.\ (QS.as-Syu’araa:88-89)
“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging, yang apabila baik, maka baik pula seluruh tubuh. dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menyampaikan VS Mengaburkan kebenaran
Sebenarnya, output yang dihasilkan ketika kebenaran itu masuk dalam manusia adalah sama jika kebenaran itu diterima dengan hati nurani. Pada proses selanjutnya kebenaran yang hakiki itu akan disampaikan kepada manusia lainnya. Namun, jika kebenaran itu yang menerima adalah hati yang telah tertutup kotoran, maka kebenaran yang disampaikan adalah kebenaran yang telah dikaburkan. Hal itu tentu saja untuk memenuhi nafsu dan kepentingan yang ingin terpenuhi.
Semoga kita mempunyai hati nurani yang peka dan menerima kebenaraan, melakukan kebenaran dan menyampaikannya tanpa tertempel kepentingan kita.
C. Kecurangan
Definisi Kecurangan
Berikut ini dikutip beberapa pengertian kecurangan dari berbagai literatur :
Menurut G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells.
“Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver (1993, hal. 3)”.
Terjemahan adalah “ Kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud memberi manfaat keuangan kepada si penipu”.
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa kriminal bukan digunakan secara ketat dalam arti hukum. Kriminal berarti setiap tindakan kesalahan yang serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dengan demikian, meskipun seorang pelaku kecurangan dapat menghindari penuntutan kriminal secara berhasil, tindakan kriminal mereka tetap dipertimbangkan.
Black’s Law Dictionary
Fraud is a generic term embracing all the multifarious means which human ingenuity can devise, which are resorted to by one individual, to get an advantage over another by false representation. No definite and invariable rule can be laid down as a general proposition in defining fraud as it includes surprise, trick, cunning and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries defining it are those which limit human knavery (Kecurangan adalah istilah umum, mencakup berbagai ragam alat yang kecerdikan manusia dapat direncanakan, dilakukan oleh seseorang individual, untuk memperoleh manfaat terhadap pihak lain dengan penyajian yang palsu. Tidak ada aturan yang tetap dan tanpa kecuali dapat ditetapkan sebagai dalil umum dalam mendefinisi kecurangan karena kecurangan mencakup kekagetan, akal muslihat, kelicikan dan cara-cara yang tidak layak/wajar untuk menipu orang lain. Batasan satu-satunya mendefinisikan kecurangan adalah apa yang membatasi sifat serakah manusia).
Selama ini, kecurangan dicirikan oleh penipuan (deceit), penyembunyian (concealment), atau pelanggaran kepercayaan (violation of trust). Tindakan-tindakan tersebut tidak tergantung pada aplikasi ancaman peanggaran atau kekuatan fisik. Kecurangan dilakukan oleh individual dan organisasi untuk memperoleh uang, kekayaan atau jasa, untuk menghindari pembayaran atau kerugian jasa, atau untuk mengamankan kepentingan pribadi atau usaha.
2.2 Tipe-Tipe Kecurangan
Pada dasarnya terdapat dua tipe kecurangan, yaitu eksternal dan internal. Kecurangan ekstrenal (eksternal fraud) adalah kecurangan yang dilakukan oleh pihak luar terhadap entitas. Misalnya, kecurangan eksternal mencakup : kecurangan yang dilakukan pelanggan terhadap usaha, wajib pajak terhadap pemerintah, atau pemegang polis terhadap perusahaan asuransi. Tipe kecurangan internal (internal fraud). Kecurangan internal adalah tindakan tidak legal dari karyawan, manajer, dan eksekutif terhadap perusahaan.
2.3 Unsur – Unsur Kecurangan
Kecurangan biasanya mencangkup tiga langkah, yaitu :
a. Tindakan ( the act )
b. Penyembunyian ( the concealment )
c. Korwers ( the conversion)
Tindakan Kecurangan biasanya adalah pencurian ( theft ). Contohnya pencurian dana kas kecil merupakan tindakan, memalsukan saldo dalam akun kas merupakan penyembunyian, korversi terjadi apabila pelaku mendepositokan dana tersebut kedalam rekeningnya, atau melakukan pembelian uang kejahatannya.
Definisi Kecurangan
Berikut ini dikutip beberapa pengertian kecurangan dari berbagai literatur :
Menurut G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells.
“Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver (1993, hal. 3)”.
Terjemahan adalah “ Kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud memberi manfaat keuangan kepada si penipu”.
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa kriminal bukan digunakan secara ketat dalam arti hukum. Kriminal berarti setiap tindakan kesalahan yang serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dengan demikian, meskipun seorang pelaku kecurangan dapat menghindari penuntutan kriminal secara berhasil, tindakan kriminal mereka tetap dipertimbangkan.
Black’s Law Dictionary
Fraud is a generic term embracing all the multifarious means which human ingenuity can devise, which are resorted to by one individual, to get an advantage over another by false representation. No definite and invariable rule can be laid down as a general proposition in defining fraud as it includes surprise, trick, cunning and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries defining it are those which limit human knavery (Kecurangan adalah istilah umum, mencakup berbagai ragam alat yang kecerdikan manusia dapat direncanakan, dilakukan oleh seseorang individual, untuk memperoleh manfaat terhadap pihak lain dengan penyajian yang palsu. Tidak ada aturan yang tetap dan tanpa kecuali dapat ditetapkan sebagai dalil umum dalam mendefinisi kecurangan karena kecurangan mencakup kekagetan, akal muslihat, kelicikan dan cara-cara yang tidak layak/wajar untuk menipu orang lain. Batasan satu-satunya mendefinisikan kecurangan adalah apa yang membatasi sifat serakah manusia).
Selama ini, kecurangan dicirikan oleh penipuan (deceit), penyembunyian (concealment), atau pelanggaran kepercayaan (violation of trust). Tindakan-tindakan tersebut tidak tergantung pada aplikasi ancaman peanggaran atau kekuatan fisik. Kecurangan dilakukan oleh individual dan organisasi untuk memperoleh uang, kekayaan atau jasa, untuk menghindari pembayaran atau kerugian jasa, atau untuk mengamankan kepentingan pribadi atau usaha.
2.2 Tipe-Tipe Kecurangan
Pada dasarnya terdapat dua tipe kecurangan, yaitu eksternal dan internal. Kecurangan ekstrenal (eksternal fraud) adalah kecurangan yang dilakukan oleh pihak luar terhadap entitas. Misalnya, kecurangan eksternal mencakup : kecurangan yang dilakukan pelanggan terhadap usaha, wajib pajak terhadap pemerintah, atau pemegang polis terhadap perusahaan asuransi. Tipe kecurangan internal (internal fraud). Kecurangan internal adalah tindakan tidak legal dari karyawan, manajer, dan eksekutif terhadap perusahaan.
2.3 Unsur – Unsur Kecurangan
Kecurangan biasanya mencangkup tiga langkah, yaitu :
a. Tindakan ( the act )
b. Penyembunyian ( the concealment )
c. Korwers ( the conversion)
Tindakan Kecurangan biasanya adalah pencurian ( theft ). Contohnya pencurian dana kas kecil merupakan tindakan, memalsukan saldo dalam akun kas merupakan penyembunyian, korversi terjadi apabila pelaku mendepositokan dana tersebut kedalam rekeningnya, atau melakukan pembelian uang kejahatannya.
D. Pembalasan
Definisi Pembalasan
“Pembalasan” sebagai satu konsep, artinya adalah bahwa manusia dijanjikan dengan kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini. Disana kebaikan dan kejahatan yang pernah dilakukan selama kehidupan pertama di dunia diperhitungkan. Arti pembalasan adalah, manusia dijanjikan dengan kehidupan baru setelah kematiannya, yang ia akan dihisab. Jika ia melakukan perbuatan baik, maka ia dibalas dengan kebaikan dan akan hidup bahagia; sebaliknya jika ia berbuat jahat, ia akan dihisab dan akan hidup menderita.
Meskipun konsepsi ini cukup sederhana, tetapi pandangan umat-umat terdahulu terhadapnya berbeda-beda. Di antara mereka ada yang mengingkarinya seraya mengatakan, “Kita datang dari tanah. Yang
terjadi tidak lebih dari ‘rahim yang mendorong kita lahir, tanah yang
menelan, dan tidak ada yang membinasakan kita selain waktu.’”
Ada umat yang mempercayainya, tetapi keliru dalam mengggambarkannya,
misalnya bangsa-bangsa Mesir kuno. Mereka mempercayai hari Kebangkitan, mempercayai bahwa manusia itu terdiri dari badan dan ruh, dan bahwa manusia pasti akan dihisab atas segala yang pernah dilakukannya dalam kehidupan dunia, tetapi mereka berkeyakinan bahwa yang melakukan hisab tersebut ada dua belas orang hakim. Kemudian mereka mengatakan, “Manusia harus memindahkan kenikmatan yang diperolehnya di kehidupan dunia, ke kehidupan akhirat.”
Tentu saja ini merupakan konsep yang salah, meskipun dasar pemikirannya
benar. Kemudian datanglah agama-agama untuk memperbaiki aqidah ini.
Al-Qur’an juga datang dengan membawa pandangan-pandangan yang shahih. Al-Qur’an banyak menyebut dan mengulangnya, karena ia merupakan landasan kehidupan di dunia ini.
Kita mendapat Al-Qur’anul Karim telah menegaskan adanya pembalasan
ini.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8)
“Tidakkah kalian perhatikan bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Mujadalah: 7)
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami yang menjadi pembuat perhitungan.” (Al-Anbiya’: 47)
“Dan (pada hari itu) kalian lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kalian kerjakan. (Allah berfirman,) ‘Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadap kalian dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kalian kerjakan.’ Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata. Dan adapun orang-orang yang kafir (kepada mereka dikatakan), ‘Maka apakah belum ada ayat-ayat-Ku yang dibacakan kepada kalian lalu kalian menyombongkan diri dan kalian jadi kaum yang berbuat dosa?’” (Al-Jatsiyah: 28-31)
Wahai Akhi…
Al-Qur’anul Karim juga menegaskan bahwa kehidupan di akhirat itu dapat dibandingkan dengan kehidupan dunia. Sedangkan perbandingan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat adalah sebagaimana perbandingan antara sesuatu yang ada dengan sesuatu yang tidak ada.
“Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut: 64)
Wahai Akhi…
Makna ayat ini adalah, bahwa kehidupan pasti lebih sempurna di akhirat kelak. Al-Qur’anul Karim menyatakan bahwa perhitungan di sana dilakukan dengan sangat mendetail. Ia merupakan kehidupan yang kekal abadi. Sekarang muncul pertanyaan, bagaimanakah Allah swt. memperlakukan orang-orang yang pencariannya berorientasi kepada akhirat?
Jika kita memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’anul Karim, kita akan mengetahui bahwa Allah swt. memperlakukan mereka dengan perlakuan yang seluruhnya baik. Adapun orang-orang yang pencariannya berorientasi kepada dunia, maka Allah swt. memperlakukan mereka dengan perlakuan yang berujung kepada kepedihan.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.” (Al-Isra’: 18)
Pemberian ini pada hakikatnya adalah penghalangan (dari pemberian di akhirat), bukan sungguh-sungguh pemberian dan berlakunya hanya “bagi siapa yang Kami kehendaki,” bukan bagi semua yang menginginkannya.
Wahai Akhi…
Ini berarti bahwa Allah swt. telah menghalangi mereka dari segala kenikmatan.
“Kemudian Kami tentukan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (Al-Isra:18-19)
“Dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 145)
Wihai Akhi…
Anda akan dapati orang-orang yang berorientasi akhirat termasuk orang-orang yang mendapatkan taufiq dan pertolongan, sedangkan orang-orang yang berorientasi dunia akan diabaikan, baik dalam kehidupan yang pertama maupun dalam kehidupan yang kedua. Tetapi hal itu menimpanya secara adil.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tu tidak dirugikan.” (Hud: 15)
Ini artinya, Allah swt. memberinya kenikmatan dunia sesuai dengan kadar siksa yang akan diterimanya di akhirat.
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan
dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Asy-Syura: 20)
Dengan demikian, wahai Akhi, Anda mendapati bahwa pencari kebahagiaan akhirat itu dijamin mendapatkan kesuksesan dalam semua kondisi. Mungkin ia akan memperoleh sesuai haknya, mungkin berlipat-lipat dari itu, atau dibalasi kebaikannya. Ia berada dalam ridha Allah. Adapun para pencari dunia, ia pasti sengsara:
“Janganlah sekali-kali kalian teperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam satu negeri.” (Ali Imran: 196).
Definisi Pembalasan
“Pembalasan” sebagai satu konsep, artinya adalah bahwa manusia dijanjikan dengan kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini. Disana kebaikan dan kejahatan yang pernah dilakukan selama kehidupan pertama di dunia diperhitungkan. Arti pembalasan adalah, manusia dijanjikan dengan kehidupan baru setelah kematiannya, yang ia akan dihisab. Jika ia melakukan perbuatan baik, maka ia dibalas dengan kebaikan dan akan hidup bahagia; sebaliknya jika ia berbuat jahat, ia akan dihisab dan akan hidup menderita.
Meskipun konsepsi ini cukup sederhana, tetapi pandangan umat-umat terdahulu terhadapnya berbeda-beda. Di antara mereka ada yang mengingkarinya seraya mengatakan, “Kita datang dari tanah. Yang
terjadi tidak lebih dari ‘rahim yang mendorong kita lahir, tanah yang
menelan, dan tidak ada yang membinasakan kita selain waktu.’”
Ada umat yang mempercayainya, tetapi keliru dalam mengggambarkannya,
misalnya bangsa-bangsa Mesir kuno. Mereka mempercayai hari Kebangkitan, mempercayai bahwa manusia itu terdiri dari badan dan ruh, dan bahwa manusia pasti akan dihisab atas segala yang pernah dilakukannya dalam kehidupan dunia, tetapi mereka berkeyakinan bahwa yang melakukan hisab tersebut ada dua belas orang hakim. Kemudian mereka mengatakan, “Manusia harus memindahkan kenikmatan yang diperolehnya di kehidupan dunia, ke kehidupan akhirat.”
Tentu saja ini merupakan konsep yang salah, meskipun dasar pemikirannya
benar. Kemudian datanglah agama-agama untuk memperbaiki aqidah ini.
Al-Qur’an juga datang dengan membawa pandangan-pandangan yang shahih. Al-Qur’an banyak menyebut dan mengulangnya, karena ia merupakan landasan kehidupan di dunia ini.
Kita mendapat Al-Qur’anul Karim telah menegaskan adanya pembalasan
ini.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8)
“Tidakkah kalian perhatikan bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Mujadalah: 7)
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami yang menjadi pembuat perhitungan.” (Al-Anbiya’: 47)
“Dan (pada hari itu) kalian lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kalian kerjakan. (Allah berfirman,) ‘Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadap kalian dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kalian kerjakan.’ Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata. Dan adapun orang-orang yang kafir (kepada mereka dikatakan), ‘Maka apakah belum ada ayat-ayat-Ku yang dibacakan kepada kalian lalu kalian menyombongkan diri dan kalian jadi kaum yang berbuat dosa?’” (Al-Jatsiyah: 28-31)
Wahai Akhi…
Al-Qur’anul Karim juga menegaskan bahwa kehidupan di akhirat itu dapat dibandingkan dengan kehidupan dunia. Sedangkan perbandingan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat adalah sebagaimana perbandingan antara sesuatu yang ada dengan sesuatu yang tidak ada.
“Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut: 64)
Wahai Akhi…
Makna ayat ini adalah, bahwa kehidupan pasti lebih sempurna di akhirat kelak. Al-Qur’anul Karim menyatakan bahwa perhitungan di sana dilakukan dengan sangat mendetail. Ia merupakan kehidupan yang kekal abadi. Sekarang muncul pertanyaan, bagaimanakah Allah swt. memperlakukan orang-orang yang pencariannya berorientasi kepada akhirat?
Jika kita memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’anul Karim, kita akan mengetahui bahwa Allah swt. memperlakukan mereka dengan perlakuan yang seluruhnya baik. Adapun orang-orang yang pencariannya berorientasi kepada dunia, maka Allah swt. memperlakukan mereka dengan perlakuan yang berujung kepada kepedihan.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.” (Al-Isra’: 18)
Pemberian ini pada hakikatnya adalah penghalangan (dari pemberian di akhirat), bukan sungguh-sungguh pemberian dan berlakunya hanya “bagi siapa yang Kami kehendaki,” bukan bagi semua yang menginginkannya.
Wahai Akhi…
Ini berarti bahwa Allah swt. telah menghalangi mereka dari segala kenikmatan.
“Kemudian Kami tentukan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (Al-Isra:18-19)
“Dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 145)
Wihai Akhi…
Anda akan dapati orang-orang yang berorientasi akhirat termasuk orang-orang yang mendapatkan taufiq dan pertolongan, sedangkan orang-orang yang berorientasi dunia akan diabaikan, baik dalam kehidupan yang pertama maupun dalam kehidupan yang kedua. Tetapi hal itu menimpanya secara adil.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tu tidak dirugikan.” (Hud: 15)
Ini artinya, Allah swt. memberinya kenikmatan dunia sesuai dengan kadar siksa yang akan diterimanya di akhirat.
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan
dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Asy-Syura: 20)
Dengan demikian, wahai Akhi, Anda mendapati bahwa pencari kebahagiaan akhirat itu dijamin mendapatkan kesuksesan dalam semua kondisi. Mungkin ia akan memperoleh sesuai haknya, mungkin berlipat-lipat dari itu, atau dibalasi kebaikannya. Ia berada dalam ridha Allah. Adapun para pencari dunia, ia pasti sengsara:
“Janganlah sekali-kali kalian teperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam satu negeri.” (Ali Imran: 196).
Tugas Tulisan
Kasus-kasus Yang Berkaitan Dengan Penderitaan dan Keadilan
Kasus
Beberapa kasus yang melibatkan TKI:
Kasus
Beberapa kasus yang melibatkan TKI:
Ceriyati
Ceriyati adalah seorang TKW di Malaysia yang mencoba kabur dari apartemen majikannya. Ceriyati berusaha turun dari lantai 15 apartemen majikannya karena tidak tahan terhadap siksaan yang dilakukan kepadanya. Dalam usahanya untuk turun Ceriyati menggunakan tali yang dibuatnya sendiri dari rangkaian kain. Usahanya untuk turun kurang berhasil karena dia berhenti pada lantai 6 dan akhirnya harus ditolong petugas Pemadam Kebakaran setempat. Tetapi kisahnya dan juga gambarnya (terjebak di lantai 6 gedung bertingkat) menjadi headline surat kabar Indonesia serta Malaysia, dan segera menyadarkan pemerintah kedua negara adanya pengaturan yang salah dalam pengelolaan TKI.
Ruyati
Ruyati adalah seorang TKW asal Bekasi, Jawa Barat di Arab Saudi yang membunuh majikannya. Dia berusaha membunuh ibu majikannya yang bernama Khairiyah Hamid yang berusia 64 tahun karena merasa tidak tahan dengan kekejamannya. Pembunuhan itu dilakukan dengan cara membacok kepala korban beberapa kali dengan pisau jagal dan kemudian dilanjutkan dengan menusuk leher korban dengan pisau dapur. Lalu, Ruyati melaporkannya ke KJRI di Jeddah. [1]
Pada 18 Juni 2011, Ruyati tewas dihukum pancung di Arab Saudi akibat perbuatannya itu. Keluarganya tetap meminta jenazah Ruyati untuk dipulangkan dan dimakamkan oleh pihak keluarga. Bahkan, pihak keluarga bertekad akan mengirimkan surat permohonan bantuan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dapat memulangkan jenazah. Sementara itu, suasana di rumah duka terus didatangi para pelayat dari kerabat dan warga sekitar. Mereka prihatin dengan peristiwa yang dialami Ruyati.[2]
Kedutaan Besar Indonesia untuk Arab Saudi Gatot Abdullah Mansyur, belum bisa memastikan pemulangan jenazah Ruyati ke Tanah Air. Ia mengemukakan itu menjawab pertanyaan anggota dewan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR di Jakarta, Kamis (23/6). Terkait keyakinan pemulangan jenazah Ruyati, berdasarkan sejarah selama ini korban pemancungan tidak ada yang pernah bisa kembali ke tanah airnya. Meski demikian, pihaknya terus melakukan upaya agar jenazah Ruyati, TKI yang dijatuhi hukuman pancung di Arab Saudi, bisa dikembalikan ke Tanah Air dan diserahkan kepada keluarga.[3]
Pada 18 Juni 2011, Ruyati tewas dihukum pancung di Arab Saudi akibat perbuatannya itu. Keluarganya tetap meminta jenazah Ruyati untuk dipulangkan dan dimakamkan oleh pihak keluarga. Bahkan, pihak keluarga bertekad akan mengirimkan surat permohonan bantuan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dapat memulangkan jenazah. Sementara itu, suasana di rumah duka terus didatangi para pelayat dari kerabat dan warga sekitar. Mereka prihatin dengan peristiwa yang dialami Ruyati.[2]
Kedutaan Besar Indonesia untuk Arab Saudi Gatot Abdullah Mansyur, belum bisa memastikan pemulangan jenazah Ruyati ke Tanah Air. Ia mengemukakan itu menjawab pertanyaan anggota dewan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR di Jakarta, Kamis (23/6). Terkait keyakinan pemulangan jenazah Ruyati, berdasarkan sejarah selama ini korban pemancungan tidak ada yang pernah bisa kembali ke tanah airnya. Meski demikian, pihaknya terus melakukan upaya agar jenazah Ruyati, TKI yang dijatuhi hukuman pancung di Arab Saudi, bisa dikembalikan ke Tanah Air dan diserahkan kepada keluarga.[3]
Darsem
Seorang TKW asal Subang, Jawa Barat di Arab Saudi yang membunuh majikannya. Dia terancam hukuman mati karena membunuh. Hukuman ini dapat diperingan dengan membayar diyat atau tebusan senilai Rp4,7 miliar. Rupanya, Darsem belum sepenuhnya bebas dari hukuman secara maksimal meski telah membayar tebusan.
"Uang itu hanya untuk membebaskan Darsem dari hukum pancung," kata Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur saat melakukan rapat dengan pendapat dengan Komisi I Bidang Luar Negeri di Jakarta, Kamis 23 Juni 2011.
Menurut Gatot, setelah uang tebusan itu dibayarkan, pemerintah Arab Saudi akan menanyakan kepada keluarga korban dan masyarakat. "Apakah terganggu dengan pembunuhan yang dilakukannya," urai Gatot.
Jika keluarga dan masyarakat menyatakan terganggu dengan perbuatan Darsem, maka Darsem terancam hukuman 6 atau 10 tahun penjara. Saat ini Darsem sedang memasuki sidang umum.[4]
"Uang itu hanya untuk membebaskan Darsem dari hukum pancung," kata Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur saat melakukan rapat dengan pendapat dengan Komisi I Bidang Luar Negeri di Jakarta, Kamis 23 Juni 2011.
Menurut Gatot, setelah uang tebusan itu dibayarkan, pemerintah Arab Saudi akan menanyakan kepada keluarga korban dan masyarakat. "Apakah terganggu dengan pembunuhan yang dilakukannya," urai Gatot.
Jika keluarga dan masyarakat menyatakan terganggu dengan perbuatan Darsem, maka Darsem terancam hukuman 6 atau 10 tahun penjara. Saat ini Darsem sedang memasuki sidang umum.[4]
Pungutan Liar di KBRI/KJRI Malaysia
Para warga negara Indonesia yang ingin memperoleh pelayanan keimigrasian dimana kebanyakan dari mereka adalah TKI yang bekerja di Malaysia, dibebani tarif pungutan liar. Modusnya adalah terbitnya SK/Surat Keputusan ganda, untuk SK pungutan tinggi ditunjukan sewaktu memungut biaya, sedangkan SK pungutan rendah digunakan sewaktu menyetor uang pungutan kepada negara. Pungli ini berawal dari PPATK yang mencium aliran dana tidak wajar dari para pegawai negeri di Konjen Penang pada Oktober 2005, dikemudian hari terungkap, pungutan serupa juga terjadi di KBRI Kuala Lumpur. Pungli ini menyeret para pejabat ke meja hijau, termasuk mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hadi A Wayarabi,Erick Hikmat Setiawan (kepala KJRI Penang) dan M Khusnul Yakin Payapo (Kepala Subbidang Imigrasi Konjen RIPenang). Erick Hikmat Setiawan divonis 20 bulan penjara.
Pemotongan Gaji Ilegal
Hampir semua TKI atau buruh migran Indonesia mengalami potongan gaji secara ilegal. Potongan ini disebutkan sebagai biaya penempatan dan "bea jasa" yang diklaim oleh PJTKI dari para TKI yang dikirimkannya. Besarnya potongan bervariasi, mulai dari tiga bulan sampai tujuh, bahkan ada yang sampai sembilan bulan gaji. Tidak sedikit TKI yang terpaksa menyerahkan seluruh gajinya dan harus bekerja tanpa gaji selama berbulan-bulan. Praktik ini memunculkan kesan bahwa TKI adalah bentuk perbudakan yang
paling aktual di Indonesia.
referensi: